Senin, 09 Desember 2013

Pendidikan Di Tengah Arus Globalisasi

Pendidikan merupakan kunci kemajuan suatu bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh sumber daya manusia yang ada di negera tersebut, sumber daya manusia yang handal dan kredibel tidak akan pernah ada tanpa campur tangan pendidikan. Pendidikan apapun bentuknya, baik formal (sekolah, pusat studi, bimbingan belajar, dll) maupun informal (keluarga, lingkungan, peer group dll). Lantas pendidikan semacam apa yang mampu menghasilkan sumber daya-sumber daya manusia yang kredibel dan penuh integritas? Tentu pendidikan yang mampu menyentuh hati orang yang dididik, membekas dalam sanubari dan tidak mudah luntur tergerus arus globalisasi.
Pendidikan yang mampu menembus hati adalah pendidikan yang diberikan juga melalui hati, ketulusan, melihat dimensi biologis, psikis, sosial, dan spiritual dari anak didiknya. Ada banyak tipe murid, yang kesemuanya itu berbeda, tidak ada yang sama (individual differences). Ada siswa yang mudah menerima pelajaran, pun sebaliknya. Hal tersebut wajar dalam dunia pendidikan, itulah kekayaan intelektual. Seorang pendidik yang baik ia akan memahami perbedaan tersebut, memahami tidak lantas untuk menjudgment (memberikan penilaian) bahwa anak didik A bodoh, anak didik B pintar, tidak. Tetapi pengetahuan tentang perbedaan tersebut hendaknya dijadikan landasan untuk menyikapi anak secara bijak.
Lantas bagaimana langkah seorang pendidik yang baik dalam mendidik anak didiknya?. Seorang pendidik yang baik amat sangat dilarang untuk memberikan judgement kepada anak didiknya dengan judgmenet “bodoh”, hal tersebut akan melekat dalam diri anak didik, seorang anak yang diberi label seperti itu oleh pendidiknya atau bahkan lingkungannya, itu menjadikan anak mempersepsikan dirinya sebagai orang yang bodoh. Hal tersebut tentu sangat merugikan anak, potensi-potensi gemilang yang dimiliki anak justru akan terkubur, tidak hanya itu, anak akan menjadi pribadi yang pesimis, pemalu, bahkan dalam kapasitas yang berat akan menimbulkan depresi atau delinkuensi (kenakalan remaja).
Selanjutnya pendidik juga harus memperhatikan dimensi biologis anak, kesehatan anak, asupan gizinya, bisa saja anak didik A yang dilabel bodoh karena secara gizi ia kurang dari B yang dianggap pintar. Dimensi lainnya yang juga tidak kalah pentingnya adalah psikis atau psikologis, seorang pendidik hendaknya memperhatikan aspek ini. Sisi psikologis adalah sisi abstrak yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Seorang pendidik harus peka terhadap psikis anak didiknya. Dimensi ini mencakup motivasi, emosi, adakah trauma masa lalu, adakah kekerasan yang membuat anak takut, attachment (kelekatan) baik dengan teman, orang tua maupun guru, persepsi diri, dan masih banyak lagi. Bisa saja seorang anak yang dilabel bodoh oleh pendidiknya sebenarnya dia anak yang pintar, hanya karena anak tersebut memiliki trauma masa lalu yang membuatnya tidak termotivasi untuk belajar sehingga prestasinya rendah dibanding anak yang dilabel pintar karena mungkin anak pintar tersebut tidak memiliki konflik psikis.
Dimensi selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah dimensi sosial, bagaimana interaksi anak dengan temannya, bagaimana lingkungan pendidikannya. Jangan sampai pendidik melabel bodoh kepada anak didiknya yang ternyata bukan anak didiknya yang bodoh tetapi lingkungan pendidikan yang disediakan tidak kondusif (misal, di tengah tempat pelacuran dll). Dimensi lainnya yaitu spiritual. Masing-masing anak memiliki tingkat spiritual yang berbeda, tidak bisa disama ratakan harus ‘alimsemua, karena sejatinya semua manusia memiliki kesadaran akan Tuhan yang berbeda-beda pula (waktu dan tingkatannya).
Seorang pendidik, harus memperhatikan keempat dimensi tersebut dalam mendidikan anak didiknya. Satu anak dengan anak lainnya memiliki karakter yang berbeda sesuai latar belakang biopsikososiospiritual, sehingga dekatilah anak didik dengan karakter anak masing-masing. Hal ini menjadi penting karena dengan seorang pendidik mengerti latar belakang biopsikososiospiritual, seorang pendidik menjadi lebih bijak dalam menyikapi anak didiknya, dan perlu diketahui, pendidik yang bijak itulah pendidik yang mendidik menggunakan hati, dan pendidik yang menggunakan hati akan dicintai anak didiknya, ilmunya akan selalu dikenang dan anak didik pun akan menjadi manusia-manusia yang sesuai harapan bangsa.
Oleh : Feny Cholisoh
Alumni PPST Ar-Risalah,sekarang Mahasiswi UII Jogjakarta Jurusan Psikologi 2010
sumber : www.arrisalah.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar