Senin, 07 Januari 2013

GENERASI PENAKLUK MODERNISME

Pembicaraan tentang issu modern, dalam banyak konteks, sering dirujukkan pada historis era Renaissance (Kebangkitan Kembali) abad ke-15 dan 16 di Eropa, setelah sekian waktu –selama Abad Pertengahan– bangsa Eropa hidup dalam masa yang mereka sebut Dark Age (Era Kegelapan). Sebuah masa di bawah dominasi dogma-dogma Gereja yang mengungkung kemerdekaan dan kebebasan manusia. Era Renaissance menjadi titik tolak bagi bangsa Eropa menuju peradaban modern yang mereka sebut dengan Enlightenment atau Aufklarung (Era Pencerahan) pada abad ke-18.  

Secara historis, bergulirnya istilah modern –yang selanjutnya melahirkan derivasi kata turunan: modernisme, modernisasi, dan modernitas– adalah merupakan fenomena sejarah kudeta sosial-kebudayaan untuk menghentikan, menyudahi, memutus, dan melepaskan diri dari cengkraman sejarah sebelumnya yang ‘gelap’, dan menghendaki sesuatu yang baru dan ‘cerah’. Dengan kata lain, modernisasi adalah sejarah penaklukan nilai-nilai lama (Abad Pertengahan) oleh nilai-nilai baru (modernitas). Karena itu, modernisme merupakan keyakinan yang cenderung mensubordinasikan yang tradisional, bahkan mengambil posisi yang berlawanan dengan nilai-nilai lama demi terciptanya nilai-nilai baru.

Pada fase berikutnya, term modernisme mengalami pergeseran dan perluasan makna menjadi: paham, pandangan, dan sikap hidup yang berbasis pada kekinian untuk menghadapi realitas kontemporer secara relevan sebagai konsekuensi dinamis dari kematangan manusia. Dalam paham modernisme, masa kini menjadi titik sentral sebagai sumber sejarah, bukan masa lalu.

Secara fenomenologis, era modern ditandai dengan menjadikan rasionalisasi sebagai ruh di setiap dimensi kehidupan secara massif. Modernisme menempatkan rasio di atas wahyu (dogma-dogma Gereja), kemajuan di atas kemapanan, dan kekinian di atas tradisi masa silam. Dengan modernisasi, kebenaran wahyu diuji di hadapan rasio, supremasi kekuasaan digugat melalui kritik, dan keshahihan tradisi dipertanyakan berdasarkan relevansi dan harapan masa depan yang lebih baik.

Di era modern, sejak suatu masyarakat menyatakan diri melaksanakan proses modernisasi, maka masyarakat tersebut harus siap meninggalkan sikap-sikap naif, jumud, dogmatis, dan anti-perubahan, untuk kemudian meleburkan diri dalam suatu proyek sejarah umat manusia mencapai kemajuan-kemajuan masa depan. Karena itu, ledakan revolusi, evolusi, transvormasi, dan progresivitas, baik di bidang sains, teknologi, industri, ekonomi, politik, budaya, informasi, pemikiran, dll., dalam era modern melaju pesat menjadi fenomena dahsyat dan loncatan sejarah.

Realitas dahsyat era modern yang menjadi capaian dan prestasi sejarah melalui proses modernisasi ini, tidak luput menciptakan ekses-ekses negatif yang disebut krisis modernisme. Bahkan krisis modernisme ini, telah membidani bagi kelahiran era post-modernisme, yang datang memberikan oto-kritik terhadap kegagalan modernisme memberikan janji-janji kehidupan yang lebih baik. Setidaknya ada lima alasan penting terjadinya krisis modernisme:
  1. Modernisme dinilai telah gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis bagi kehidupan seperti diharapkan oleh para pendukung fanatiknya.
  2. Terdapat banyak kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
  3. Ilmu pengetahuan modern tidak benar-benar mampu membebaskan dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas keilmuan demi kepentingan kekuasaan.
  4. Ada semacam keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia. Namun ternyata keyakinan tersebut keliru dengan munculnya berbagai patologi (penyakit) sosial, seperti dekadensi moral, kelaparan, kemiskinan, kebodohan, penindasan, dan kerusakan lingkungan, yang terus mengiringi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
  5. Ilmu-ilmu modern acuh terhadap dimensi-dimensi mistis, metafisis, dan spiritual manusia, akibat terlalu mementingkan atribut fisik, materi, dan rasio, sehingga kegersangan ruhaniah benar-benar melanda manusia modern.
Disamping itu, lunturnya ikatan sosial, melemahnya kekuatan norma agama, dan runtuhnya etika tradisional, telah memicu munculnya berbagai problem sosial yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Krisis modernisme telah mencoreng dan menjadikan wajah modernisme menjadi tampak buruk dan menakutkan. Bahkan bagi kalangan eksklusif, modernisme telah menjelma sebagai hantu sejarah yang sangat mengerikan.

Capaian prestasi era modern yang luar biasa hebat di satu sisi, dan krisis modernisme yang sangat destruktif terhadap nilai-nilai kemanusiaan di sisi lain, membuat respon yang variatif dalam menyikapi kenyataan era modern. Setidaknya, ada tiga kelompok manusia yang berbeda dalam merespon arus modernitas yang terus bergulir tanpa kompromi menggilas ruang dan waktu:  

1.   Anti Modernitas

Anti-modernitas adalah kelompok manusia yang apatis, menolak, dan –bahkan dalam titik ekstrem– alergi dengan segala produk modernitas, entah dalam bidang sains, teknologi, ekonomi, politik, budaya, seni, pemikiran, dll. Di mata kelompok anti-modernitas, yang tampak dari realitas dunia modern adalah wajah buruk peradaban. Dunia modern dengan segala produk kontemporernya dipandang tidak sebanding dengan ekses destruktif yang ditimbulkan, yang menghancurkan supremasi khazanah lama yang diagungkan.

Pandangan hidup manusia anti-modernitas bersifat eksklusif dan anti-perubahan, yang tertutup terhadap segala yang baru. Kelompok ini mengalami rasa kecemasan, ketakutan, dan skeptis yang akut dengan modernitas, sehingga memilih melarikan diri dari kenyataan dunia modern dengan mengasingkan dan menutup diri dalam romantisme masa lalu. Sederhananya, dalam mindset kelompok manusia anti-modern, modernitas bukan suatu realitas yang menantang untuk dihadapi, melainkan hantu sejarah yang menakutkan dan harus dijauhi.  

2.   Korban Modernitas

Korban modernitas adalah kelompok manusia yang over inklusif terhadap realitas dan segala produk dunia modern. Saking terbukanya, kelompok ini praktis mengalami syndrom modernitas. Mereka menjadi abai dan krisis simpati dengan nilai-nilai tradisional dan masa lalu. Bahkan ia kehilangan daya filter untuk membedakan antara hakikat kemajuan dengan kehancuran. Kondisi demikian, lebih dikarenakan faktor ketidaksiapan secara mental untuk menghadapi fenomena era modern, sehingga kelompok inilah sebenarnya yang memainkan peran penting krisis modernisme.

Dalam dunia teknologi, eksistensi kelompok ini bisa dijumpai pada tipikal orang-orang gaptek (gagap teknologi) dalam artikulasi yang luas. Gaptek dalam pengertian yang luas bukan hanya mereka yang terasing dengan istilah dan kegunaan produk-produk teknologi modern, tapi sekaligus mereka yang akrab dengan teknologi modern namun tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkannya secara produktif. Kelompok ini cenderung memanfaatkan fasilitas teknologi modern untuk kepentingan-kepentingan yang merugikan. Fenomena pemanfaatan teknologi modern yang justru menjadi perusak bagi mentalitas, moralitas, dan produktivitas, adalah indikasi dari ketidaksiapan menghadapi era modern, sehingga ia menjadi korban dari modernitas itu sendiri.

Dalam dunia ekonomi, eksistensi korban modernitas bisa dijumpai pada tipikal penganut konsumerisme. Yaitu ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan dan berkelanjutan. Tipikal konsumtif menjadikan manusia pecandu dari suatu produk yang sulit atau tidak bisa dihilangkan, sehingga menjadi penyakit jiwa yang menjangkiti masyarakat.

Dalam dunia pergaulan sosial, eksistensi korban modernitas bisa dijumpai pada kelompok masyarakat hedonis-pragmatis. Hedonisme adalah paham gaya hidup yang berorientasi pada kesenangan dan kenikmatan duniawi. Sedangkan pragmatisme adalah pandangan hidup yang berorientasi pada kegunaan praktis untuk memenuhi kepentingan subyektif individu, bukan pada pengakuan kebenaran obyektif, sehingga menjadikan manusia cenderung individualis dan mengabaikan kepentingan kolektif (gotong-royong). Trend gaya hidup masyarakat yang suka pesta minuman keras, pesta narkoba, seks bebas, pornografi, porno aksi, korupsi, dll., yang semua berujung pada kesenangan dan kenikmatan duniawi, adalah ekspos paling konkrit dari perilaku manusia hedonis-pragmatis.

Dalam dunia pemikiran-keagamaan, eksistensi korban modernitas bisa dijumpai pada tipikal penganut liberalisme. Kelompok liberalisme pemikiran mentasbihkan rasio sebagai instrumen utama dalam memahami teks keagamaan. Spirit dari kelompok liberalis sebenarnya sangat mulia, yaitu melakukan gerakan pembaharuan dan pembebasan dari hegemoni taqlid buta yang mengakibatkan kejumudan dan kemunduran umat. Namun, karena dalam penggunaan rasio terlalu bebas, radikal, dan ekstrem, hingga tak jarang membentur wilayah-wilayah qath’i yang tidak mengizinkan aktivitas ijtihad, serta superioritas moralnya yang mulai diragukan, selanjutnya rasionalitas kelompok liberal tidak lagi dianggap sebagai penjelasan keagamaan yang meyakinkan.  

3.   Penakluk Modernitas

Penakluk modernitas adalah kelompok manusia dengan mindset dan pandangan hidup yang inklusif-selektif dalam merespon arus modernisasi. Bagi kelompok manusia penakluk modernitas, era modern bukanlah hantu sejarah yang harus dijauhi, melainkan realitas sejarah yang menantang untuk ditaklukkan.

Kendati embrio modernisme lahir dan besar dari rahim peradaban Barat, namun modernisme bukanlah monopoli dunia Barat. Karena itu, modernisasi bukanlah westernisasi (pembaratan). Modernisasi adalah keniscayaan dari dinamika sejarah setiap umat manusia. Modernisasi merupakan proses evolusi sejarah menuju kedewasaan peradaban yang sangat fitri. Menolaknya secara total, sama saja dengan melawan derap perjalanan waktu. Dan itu bukan pilihan cerdas.

Manusia penakluk modernitas percaya bahwa, segala zaman selalu dianggap modern oleh masanya. Karenanya, manusia penakluk modernitas senantiasa mengapresiasi secara kritis, adil, dan proporsional kepada semua zaman. Manusia penakluk modernitas adalah putra zaman, atau manusia sejarah yang arif terhadap tradisi dan masa lalu, serta tidak skeptis dan melarikan diri dari realitas dunia modern, namun berani menantang dan menaklukkannya agar sanggup tampil di garda terdepan memimpin dinamika modernitas menuju peradaban madani.

Ciri paling khas tipikal manusia penakluk modernitas adalah berpandangan arif dan progresif, namun sekaligus kritis terhadap nilai-nilai destruktif dari era modern.

Tantangan dan Sikap Generasi Islam

Dari analisa sederhana di atas, ada poin penting yang perlu ditegaskan. Bahwa, modernisme bukanlah degradasi moral, rapuhnya kekuatan norma agama, runtuhnya etika tradisional, lunturnya ikatan sosial, ataupun mengeringnya dimensi spiritual. Modernisme bukanlah krisis modernisme. Krisis modernsime adalah faktor eksternal dari modernisme. Kendatipun wajah modernisme diwarnai dengan ekses-ekse destruktif, namun tidak berarti modernisme tidak bisa dipisahkan darinya. Dan di sinilah titik yang menjadi tantangan dan tanggung jawab sejarah bagi generasi muda Islam.

Generasi muda Islam dilahirkan bukan untuk tunduk, menyerah, dan pasrah menjadi korban dari kerusakan zamannya. Generasi muda Islam dilahirkan untuk menjalankan misi besar sebagai pemimpin peradaban zamannya (khalîfah).

إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ 

Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil. (QS. Shâd: 26) 

إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً 

Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (QS. Albaqarah: 30)

Generasi muda Islam dilahirkan bukan untuk menjadi manusia kalah, lemah, hina, dan nestapa, tapi untuk memenangakan sebuah kemuliaan zaman yang berperadaban luhur.

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ 

Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Ali Imran: 139)

Karena itu, dari tiga jenis kelompok manusia yang diuraikan di atas, bagi generasi muda Islam tidak ada pilihan kecuali menjadi manusia penakluk modernitas. Generasi muda Islam harus memutuskan pilihan cerdas ini. Sebab, sikap demikan merupakan pilihan sejarah (the history choise). Tanpa keberanian menjadi manusia penakluk modernitas, sama saja dengan mengizinkan ‘Dajal-Dajal’ sejarah menghancurkan peradaban manusia.

Menjadi manusia penakluk modernitas bukanlah pilihan yang diharamkan. Sebab, generasi Islam memiliki landasan ideologis untuk menjadi manusia penakluk modernitas, yang bersedia mengapresiasi kearifan sejarah dan masa lalu, serta tidak terasing dengan zamannya.

المُحَافَظَةُ عَلَى الْقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَالْأَخْذُ بِالْجَدِيدِ الْأَصْلَحِ 

Melestarikan khazanah klasik yang relevan dan bersikap akomodatif-selektif terhadap modernitas yang positif. 

Landasan ideologis ini seharusnya memberikan tenaga bagi keberanian generasi muda Islam untuk menyudahi masa lalu yang dipastikan telah kehilangan relevansi, dan menumbuhkan rasa percaya diri untuk menantang era modern. Generasi muda Islam tidak bisa dibenarkan secara ideologis untuk berlama-lama menutup diri dan ketakutan dengan realitas modern, sebab di atas pundaknya memikul amanah sejarah. Amanah yang tidak akan terbayar hanya dengan terus-menerus bersikap eksklusif dan anti-modern. Sikap menutup diri adalah cerminan dari ketakutan, kekalahan, dan frustasi terhadap kenyataan modernitas. Sikap menutup diri hanyalah usaha protektif untuk penyelamatan diri sendiri, dan mengabaikan realitas zaman. Amanah sejarah generasi Islam tidak akan tunai hanya dengan strategi proteksi, melainkan butuh strategi ekspansi. Yaitu kesediaan untuk bersikap terbuka dan keluar melibatkan diri menuju medan dinamika modern.

Agar generasi muda Islam memungkinkan memiliki kepantasan tampil menjadi manusia penakluk modernitas, ada beberapa kriteria ideal yang harus dipenuhi.  

1.   Memiliki karakter manusia lahir-batin

Yaitu pribadi yang memiliki integritas kecerdasan intelektual (lahiriah) dan kecerdasan moral-spiritual (batiniah). Kecerdasan intelek (rasio) menjadikan seseorang memiliki kesiapan bersaing dan menjadi pemenang dalam kompetisi dunia modern. Sedangkan kecerdasan moral-spiritual (hati) akan melindunginya dari terjangan krisis modernisme.

Kecerdasan intelektual tanpa diintegrasikan dengan kecerdasan moral-spiritual, akan membentuk karakter manusia-manusia timpang, saintis namun tak bermoral, yang jauh lebih berbahaya dari manusia bodoh sekalipun. Sebaliknya, kecerdasan moral-spiritual tanpa diintegrasikan dengan kecerdasan intelektual akan membentuk karakter manusia-manusia ironi, relegius namun psikopat. Dan orang-orang dengan karakter timpang dan ironi seperti inilah yang menghegemoni peradaban modern. Karenanya, di era modern, betapa banyak orang pintar namun jahat dan membodohi umat, orang kaya namun justru memeras masyarakat, dan orang berkuasa namun justru menindas rakyat. Sebaliknya, betapa banyak orang berhati baik, shalih, bertaqwa, namun tidak kaya, tidak berkuasa, dan tidak bisa berbuat apa-apa yang berarti bagi peradaban modern.

Era modern membutuhkan pribadi-pribadi dengan integritas keilmuan lahir-batin: saintis yang agamis, politikus yang religius, pemikir yang ahli dzikir, filsuf yang tasawuf, pakar ekonomi yang islami, ilmuwan yang beriman, budayawan yang budiman, artis yang agamis, hartawan yang zuhud dan dermawan.  

2.   Memiliki karakter manusia sejarah   

Yaitu pribadi yang memiliki kearifan terhadap tradisi dan masa lalu, serta tidak terasing dengan zamannya. Manusia dengan tipikal seperti ini akan mampu menjadi jembatan transvormatif antar zaman. Ia mewarisi khazanah masa klasik, dan ia juga mampu mengikuti kompetisi masa modern secara progresif dan produktif, sehingga ia memiliki prestasi sejarah yang bisa diwariskan untuk masa depan.

Inilah yang disebut manusia sejarah, atau putra zaman. Bukan generasi hebat yang hanya pintar membanggakan masa lalu, namun terasing dan tak berdaya menghadapi zamannya sendiri. Sebuah kalam syair mengatakan:

لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُولُ هَذَا أَبِي     *     وَلَكِنَّ الْفَتَى مَنْ يَقُولُ هَأَنَا ذَا 

Generasi muda bukanlah mereka yang hanya bisa membanggakan leluhurnya (masa lalu), tetapi generasi muda adalah mereka yang sanggup membuktikan prestasi dirinya sendiri (modern).   

3.   Memiliki karakter manusia dunia-akhirat

Yaitu pribadi yang memiliki obsesi kesuksesan duniawi (fî ad-dunyâ hasanah) sekaligus kesuksesan ukhrawi (fî al-‘âkhirah hasanah). Dalam mindset manusia penakluk modernitas, dunia dipandang sebagai ladang surga (mazra’ah al-‘âkhirah). Artinya, kehidupan dunia harus di-hasanah-kan agar gemerlap kemegahan duniawi tidak menjadi fitnah bagi manusia, melainkan menjadi sarana dan fasilitas untuk menggapai keselamatan ukhrawi.

Islam tidak mengharamkan hal-hal yang bersifat duniawi. Islam juga tidak mengajarkan umatnya untuk menjadi manusia “ndonyo bloko” ataupun “akherot bloko”. Kekayaan, kekuasaan, popularitas, kemajuan, progresivitas, sains, teknologi, dan produk-produk modernitas lainnya, bukan termasuk sesuatu yang bernilai duniawi yang harus ditolak dan dijauhi, sepanjang bisa diperalat sebagai instrumen (wasilah) mencapai prestasi yang bernilai ukhrawi. Rasulullah saw. bersabda:

كم من عمل يتصور بصورة أعمال الدنيا ويصير بحسن النية من أعمال الآخرة وكم من عمل يتصور بصورة أعمال الآخرة ثم يصير من أعمال الدنيا بسوء النية.

Betapa banyak aktivitas duniawi yang menjadi bernilai ukhrawi karena di dasari niat baik, dan betapa banyak ritual-ritual ukhrawi justru menjadi bernilai duniawi lantaran buruknya niat.

___________________
Disampaikan:
Oleh: Daimullah Goeztav, dalam seminar: Menyikapi Perkembangan Dan Pergaulan Remaja Islam Di Era Modern, di Pon. Pes. Terpadu Arrisalah, Lirboyo Kota Kediri, pada tanggal 20 Januari 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar