Berbicara tentang status Al Qur’an
yang ditulis dengan tafsirnya dilihat dari segi boleh dan tidaknya disentuh
oleh orang-orang yang berhadats besar maupun kecil, maka tidak terlepas
dari hukum boleh dan tidaknya menyentuh tulisan Al Qur’an dan pengertian Al
Qur’an yang haram disentuh.
Di
kalangan ulama’ madzhab, baik Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki maupun Hanbali,
telah ada kesepakatan tentang tidak diperbolehkannya menyentuh Al Qur’an bagi
orang yang berhadats. Keharaman menyentuh Al Qur’an bagi orang yang berhadats
ini dianalogikan dengan haramnya membaca Al Qur’an bagi mereka yang berhadats
besar. Yakni junub, haidl dan nifas
Rosulullah bersabda :
|لاتقرأ الحائض والجنب شيئا من القرآن . روى من حديث ابن عمر عند الترمذى وابن ماجه والبيهقى
ومن حديث جابر عند الدارقطنى
( نصب الراية الجزء الأول ص : 195
)
|وحديث ابن عمر عند الترمذى وأبى داود لا
يقرأ الجنب ولا الحائض شيئا من القرآن .
Hadits ini, walaupun dinilai lemah oleh Imam Nawawi di dalam
kitab Al Majmu’, namun masih banyak hadits lain yang memperkuat isi hukum yang
terkandung di dalam hadits di atas. Seperti hadits :
|كان رسول الله يقرئنا القرآن على كل حال ما لم يكن جنبا
. رواه الترمذى وقال حديث حسن صحيح ورواه أيضا باقى
السنن الأربعة
( سبل السلام الجزء الأول ص
: 88 )
Memang tidak ada dalil, baik dari Al Qur’an maupun hadits yang
secara tegas mengharamkan menyentuh Al Qur’an bagi orang yang berhadats
kecil. Akan tetapi mayoritas fuqoha’ selain Ibnu Abbas dan kaum Zubaidiyyah,
mengharamkannya. Sebagaimana keterangan yang dikutip kitab Fiqhul Islami juz 1
halaman 299.
Menurut Ibnu Sholah yang menukil dari ulama Syafi’iyyah, ada wajah
( pendapat ) yang menganggap haramnya menyentuh Al Qur’an bagi orang yang
berhadats kecil hanya sebatas pada tulisan Al Qur’annya saja, tidak pada
pinggir tulisan Al Qur’an atau sela-sela tulisannya. Pendapat ini, sebagaimana
yang ada di dalam kitab Al Qolyubi juz 1 halaman 35, juga disampaikan oleh Imam
Asnawi dan sebagian golongan Syafi’iyyah. Ketidak sepakatan ulama dalam
permasalahan di atas, dilatar belakangi karena perbedaan pemahaman dan
penafsiran ayat Al Qur’an yang berbunyi :
|إنه لقرآن كريم فى كتاب مكنون لا يمسه إلا المطهرون
تنزيل من رب العالمين . الواقعة : 77 - 80
Artinya : Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan
yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara ( Lauhul Mahfudz ) tidak
menyentuhnya kecuali orang orang yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan Semesta
Alam.
Apakah yang dimaksud dengan Al
Qur’an yang ada pada dlomir lafadz لا يمسه
itu Al Qur’an yang ada di dunia ataukah yang di lauhil mahfudz ? Dan
siapakah yang dimaksud dengan المطهرون
, manusia ataukah malaikat ? Dan juga apakah لاyang
terdapat pada lafadz لا
يمسه itu menunjukkan arti nahi
( larangan ) yang sehingga memberikan pengertian : Janganlah menyentuh Al
Qur’an kecuali المطهرون ?
Ataukah لا tersebut menunjukkan arti nafi (
meniadakan ) yang sehingga memberikan pengertian : Tiada yang menyentuh Al
Qur’an kecuali المطهرون ?
Dalam tafsir Al Baidlowi juz 4 halaman 110, ditegaskan :
|( قوله
فى كتاب مكنون ) مصون وهو اللوح المحفوظ ( قوله لا يمسه إلا المطهرون ) لا يطلع
على اللوح إلا المطهرون من الكدرات الجسمانية وهم الملائكة أو لايمس القرآن إلا
المطهرون من الأحداث فيكون نفيا بمعنى النهى أو لايطلبه إلا المطهرون من الكفر
وقرئ المتطهرون والمطهرون والمطهرون من أطهره بمعنى طهره والمطهرون أى أنفسهم أو
غيرهم بالاستغفار لهم والإلهام .
المطهرون dalam tafsir di atas ditafsiri dengan para
malikat, dengan berpedoman lafadz لا يمسه
adalah jumlah yang menjadi sifat dari lafadz كتاب مكنون . Dengan demikian dlomir yang terdapat pada لا يمسهkembali
pada kitab yang ada di lauhil mahfudz. Keterangan ini diambil dari
tafsir Ayatul Ahkam. Penafsiran ini juga didasarkan pada ayat :
|فى صحف مكرمة مرفوعة مطهرةبأيدى سفرة . عبس : 13 - 15
Artinya : Di dalam kitab kitab yang dimuliakan yang
ditinggikan lagi disucikan di tangan para penulis ( utusan ).
Bila kita berpijak pada penafsiran semacam ini, maka ayat لا يمسه إلا المطهرون tidak bisa dijadikan sebagai hujjah atas haramnya
menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats. Namun Ibnu Taimiyah dalam
menyikapi penafsiran semacam itu justru mengatakan jika Al Qur’an yang ada di lauhil
mahfudz saja tidak disentuh kecuali oleh makhluk Allah yang suci ( malaikat ), maka selayaknya Al
Qur’an yang ada di bumi tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci
dari hadats.
المطهرون dalam tafsir di atas, menurut pendapat
yang kedua, ditafsiri dengan orang yang tidak berhadats, baik kecil
maupun besar. Dengan pertimbangan :
1.
Lafadz لا يمسه menjadi sifat dari لقرآن كريم . Dan Al Qur’an diartikan dengan Al Qur’an yang telah
diturunkan di bumi. Oleh karena itu dlomir yang ada pada لا يمسه kembali pada lafadz لقرآن كريم . Terbukti ayat tersebut segaris dengan :
|تنزيل من رب العالمين .
2. Ada
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Ashabussunan yang berbunyi :
|أن النبى كتب إلى أهل اليمن وجاء فيه لا يمس القرآن
إلاطاهر .
Dalam hadits di atas Rosulullah
berkirim surat kepad Ahlul Yaman yang di antara
isi surat
tersebut ada peringatan ”
Jangan sampai menyentuh Al Qur’an, kecuali orang yang suci dari hadats. ”
3. لا
يمسه tetap menjadi sifat
dari كتاب
مكنون . Namun lafadz مكنون ditafsiri dengan المحفوظ فى الصدور ( terjaga di dalam hati ). Yakni Al Qur’an terlindung dari
perubahan i’rob dan huruf. Dan ini sesuai dengan firman
Allah :
|إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون . الحجر : 9
Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al
Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar benar memeliharanya.
Pengertian Al Qur’an yang haram disentuh
orang hadats
Imam Fahrur Rozi berpendapat bahwa
lafads القرآن
yang ada di dalam firman Alloh إنه لقرآن كريم adalah masdar yang bermakna isim maf’ul, yakni المقروء ( yang dibaca ). Ini
senada dengan firman Alloh yang berbunyi هذا خلق الله أى مخلوقه .
Melihat pengertian ini, maka yang dimaksud dengan Al Qur’an
yang haram disentuh orang hadats adalah tulisan Al Qur’an yang memang untuk
dibaca. Karenanya ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa menyentuh tulisan Al Qur’an,
walaupun satu ayat, yang ada pada uang dirham atau lainnya bagi orang yang
hadats, hukumnya haram. ( Al Fiqhul Islami juz 1 halaman 296 ). Namun menurut
ulama’ Syafi’iyah, tidaklah semua
tulisan Al Qur’an haram disentuh oleh orang yang hadats. Tetapi hanya sebatas
pada tulisan Al Qur’an yang ditulis dengan tujuan dirosah ( dibaca untuk
tujuan ibadah ). Jika Al Qur’an ditulis tidak untuk tujuan yang demikian,
semisal untuk tabarruk ( agar mendapat berkah ), azimat atau
untuk tujuan belajar mengajar, maka tulisan Al Qur’an semacam ini tidak haram
disentuh orang yang hadats. Terbukti Rosulullah pernah berkirim surat kepada raja Qoishor yang di dalam isi surat tersebut terdapat
tulisan Al Qur’annya. ( Al Fiqhul Islami juz 1 halaman 298 ). Dan tidak mungkin
Rosulullah memerintahkan raja Qoishor untuk berwudlu telebih dahulu
sebelum membacanya.
Dari sini semakin jelaslah bahwa meski Al Qur’an ditulis untuk
dibaca, namun apabila tidak untuk tujuan dirosah, maka tidak haram
disentuh orang yang hadats. Oleh karena itu ulama’ ulama’ Syafi’iyah
mendefinisikan mushaf dengan :
|كل ما كتب عليه القرآن لدراسته ولو عمودا أم لوحا .
Artinya : Segala sesuatu yang ditulisi Al Qur’an
untuk tujuan dirosah, sekalipun berupa pilar maupun papan.
Definisi ini senada dengan definisi
yang disampaikan ushuliyyin sebagaimana yang tertulis di dalam kitab Jam’ul Jawami’ juz 1 halaman 223 yang berbunyi :
|والمعنى به أى القرآن هنا أى فى أصول الفقه اللفظ المنزل
على محمد صلى الله عليه وسلم للإعجاز بسورة منه المتعبد بتلاوته .
Artinya : Yang dikehendaki
dengan Al Qur’an di dalam ushul fiqh adalah lafadz yang diturunkan Alloh kepada
Nabi Muhammad S.a.w. untuk melemahkan penentang ajaran Agama Islam dan untuk
digunakan ibadah dengan membacanya.
Selanjutnya bisa disimpulkan bahwa membaca Al Qur’an walaupun
tidak mengerti artinya, tetap merupakan suatu ibadah.
Berbicara mengenai ayat ayat Al Qur’an yang ditulis untuk
tujuan tabarruk, membuat azimat atau lainnya yang tidak ada
tujuan dirosah, walaupun secara umum tulisan itu terkesan bisa disebut
Al Qur’an, sebenarnya ada dua qoul. Pertama, melihat tujuan penulis,
berarti tulisan tersebut tidak bisa disebut mushaf. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama’ Syafi’iyah. Kedua, menurut Imam Romli tidak melihat pada
tujuan penulis. Tetapi melihat pada penilaian umum. Sebab ada hadits :
|وما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن .
Al Qur’an yang ditulis dengan tafsir
Jika penulisan Al Qur’an dengan tujuan dirosah atau
tidak dengan tujuan dirosah namun secara umum bisa disebut mushaf
(dengan berpijak pada pendapatnya Imam Romli ) dan juga disertai dengan
penulisan tafsirnya yang bertujuan untuk mengetahui arti dari Al Qur’an
tersebut, maka hukumnya mengikuti pada yang lebih banyak antara Al Qur’an dan
tafsirnya. Sebab di dalam qo’idah ditegaskan :
|القليل كالمعدوم .
Apabila tulisan Al Qur’an lebih banyak, maka dihukumi
sebagaimana mushaf. Berarti tetap haram disentuh bagi orang hadats.
Sebab ada hadits :
|ما اجتمع الحلال والحرام إلا غلب الحرام الحلال .
Walaupun menurut Assububki hadits ini diriwayatkan Imam Al Ja’fi
( seorang rowi yang lemah ) dari Imam Sya’bi dari Ibnu Mas’ud, namun
para ulama tetap cenderung untuk mengharamkannya dengan dasar hati-hati ( ihthiyath
).
Namun jika kita menengok pendapat
Assubuki, maka keharaman tersebut hanya terbatas pada tulisan Al Qur’an saja.
Sebab ada hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, Imam Daru Quthni dari shahabat
Ibnu Umar :
|الحرام لا يحرم الحلال .
Akan tetapi walau demikian, menyentuh tulisan tafsir tersebut
adalah makruh. Dengan pertimbangan :
1.
Hadits.
|دع مايريبك إلى ما لا يريبك
Mengingat
dalam masalah ini ( menyentuh tafsir yang lebih sedikit dari tulisan Al Qur’an
) ada sebagian ulama yang mengharamkan dan ada yang memperbolehkan, maka
kejadian ini mengakibatkan terjadinya keraguan ( syak ). Dan sesuai
dengan hadits di atas bahwa melakukan perkara yang masih diragukan, hukumnya
makruh.
2.
Menghindar dari khilaf ulama,
hukumnya sunnat. Sedangkan meninggalkan sunnat hukumnya makruh.
Tulisan Al Qur’an yang diulang
Setelah kita mengetahui bahwa yang dimaksud dengan mushaf
yang haram disentuh orang hadats adalah tulisan Al Qur’an dengan tujuan dirosah,
maka tulisan Al Qur’an yang diulangi tersebut hanya tinggal melihat pada tujuan
penulis atau tujuan orang yang menyuruhnya, bila ia disuruh menulis dengan
diberi imbalan. Jika ditulis dengan tujuan dirosah, maka akan
mempengaruhi jumlah banyaknya huruf Al Qur’an. Dan jika ditulis untuk
mempelajari tafsirnya, maka akan mempengaruhi jumlah banyaknya tafsir. Demikian
ini bila kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa pengertian mushaf
itu hanya dibatasi dengan tujuan dirosah.
Apabila kita mengikuti pendapat Ar
Romli, yang menilai tulisan Al Qur’an bisa disebut mushaf atau tidak itu
tergantung penilaian umum, maka tujuan penulis atau yang menyuruhnya tidak
diperhitungkan sama sekali. Yang penting bila tulisan Al Qur’an yang diulang
tersebut menurut umum bisa disebut mushaf, maka tulisan itu akan
mempengaruhi pada banyaknya jumlah huruf Al Qur’an. Dan dari sini kita dapat
memahami bahwa besar kecilnya tulisan sama sekali tidak ada bedanya. Kecuali
kalau tulisan tersebut sangat kecil sekali sehingga menurut umumnya manusia
tidak bisa dibaca, maka tulisan tersebut tidak dianggap.
Apakah terjemah termasuk tafsir ?
Tafsir secara harfiyyah adalah masdar dari :
فسر -
يفسر - تفسيرا
yang artinya menjelaskan. Secara terminologi, tafsir adalah
menjelaskan maksud kalamullah yang meliputi ta’wil ( men-jelaskan
lafadz yang tidak sama dengan dzohirnya ) atau menjelaskan sebab-sebab
diturunkannya sebuah ayat.
Dengan demikian, jika yang dimaksud terjemah itu adalah
menjelaskan maksud dari kalamullah, maka terjemahan tersebut bisa
dikatakan tafsir. Jika yang dimaksud adalah hanya sekedar mengalihkan bahasa,
sehingga nantinya bisa disebut Al Qur’an berbahasa Indonesia atau Al Qur’an berbahasa
Inggris, maka tidak bisa dianggap tafsir. Bahkan dihukumi haram karena bisa
menghilangkan sifat i’jaz ( melemahkan musuh ) dari Al Qur’an.
Allah berfirman :
|وإن كنتم فى ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من
مثله وادعوا شهداءكم من دون الله إن كنتم صادقين فإن لم تفعلوا ولن تفعلوا فاتقوا
النار التى وقودها الناس والحجارة أعدت للكافرين . البقرة : 23 - 24
Artinya : Dan jika kamu ( tetap ) dalam keraguan tentang Al
Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat ( saja ) yang
semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong penolongmu selain Allah, jika kamu
memang orang orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat ( nya ) dan
pasti kamu tidak dapat membuat ( nya ), peliharalah dirimu dari neraka yang
bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang kafir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar