Oleh : Ustadz Mudaimullah*
PROLOG
Sering
kita mendengar ungkapan "cinta
tak harus memiliki"yang pada umumnya lebih sebagai ungkapan ekspresif
ketika perjalanan cinta gagal, ketimbang sebagai ungkapan filosofis dari
hakikat cinta itu sendiri, di mana antara cinta dan keinginan untuk memiliki
hakikatnya tidak ada relasi keterkaitan apapun. Dalam memahami dua perasaan tersebut
sering terjadi kerancuan bahkan kekacauan, yang umumnya murni karena sugesti
perasaan kedua yang relatif lebih dominan dibanding perasaan pertama. Dominasi ini pula yang sebenarnya
menjadi biang kecemburuan buta, posesifitas dan egoisme bercinta.
Bahkan, dominasi ini pula yang
mendorong seseorang gampang berdalih mengatasnamakan cinta ketika terjadi
fantasi-fantasi negatif lainnya, atau ketika pegorbanannya-untuk memiliki-harus
tidak berarti.
Di lain
pihak, kita juga sering mendengar ungkapan "memiliki
tidak harus cinta" yang
barangkali merupakan filsafat untuk mereka yang menomorsekiankan cinta dan
tidak menjadikannya sebagai prasyarat atau jaminan kebahagiaan mengarungi
bahtera rumah tangga. Yah ...
bisa jadi karena meyakini kebahagiaan itu bisa dibeli dengan materi, atau bisa
jadi paradigma itu sekedar bentuk kepasrahan ketika takdir seseorang harus
menikah dengan orang yang tidak dicintai.
Secara
hukum, nikah tanpa cinta baik dari salah satu atau kedua belah pasangan, mungkin
tidak perlu diragukan lebih-lebih dipertanyakan keabsahannya. Sebab dalam konteks pernikahan,
disamping cinta bukan sabagai Persyaratan, Islam juga melegalkan konsep ijbâr (nikah paksa???) yang memberikan hak
prerogatif kepada wali (bapak, kakek dan seatasnya) pada anak gadisnya dalam
perjodohan. Dalam konsep nikah ijbâr ini, pernikahan akan dianggap sah
sepanjang tidak ada adâwah
dhâhirah (kebencian nyata)
antara wali dan anak gadisnya serta dengan calon yang selevel ( Giza
' ) yang sanggup memberikan
maharnya. [1] Dalam konsep ini, rasa cinta praktis
dikesampingkan untuk menjadi pertimbangan legalitas menjodohkan. Dan barangkali, kehadiran rasa cinta
hanya diharapkan secara spekulatif dari kebersamaan pasangan dari waktu ke
waktu seperti dalam pepatah jawa "witing
tresno jalaran soko kulino".
Pepatah
itu tidaklah selamanya benar, sebab disamping kehadiran cinta yang diharapkan
hanya bersifat spekulatif yang tidak mustahil justru kebencian yang akan hadir,
cinta sendiri hakikatnya lahir karena adanya kecocokan dua jiwa yang jika hal
itu tidak ada maka cinta tidak akan pernah tumbuh meski dalam hitungan tahun
bahkan abad.
Contoh
logis dari spekulasi ini adalah, bahwa fenomena perselingkuhan lazim terjadi
bukan di awal-awal terjalinnya sebuah hubungan cinta, melainkan ketika hubungan
itu telah berjalan sekian waktu dan ketika cinta tidak lagi sanggup memberikan
arti yang mendamaikan. Logikanya,
jika cinta yang mendasari sebuah hubungan saja dapat pudar, lantas bagaimana
jika sebuah hubungan tanpa didasari cinta?. Benih
cinta yang dianugrahkan di setiap hati akan tumbuh bersemi, atau malah
sebaliknya akan layu untuk kemudian mati?.
Bila
demikian realitasnya, maka nikah tanpa cinta sepintas akan tampak kontras
ketika kita bandingkan dengan muatan surat Ar-Rum ayat 21 yang menegaskan bahwa
esensi pernikahan adalah demi terciptanya rumah tangga sakinah, mawaddah wa rahmah, yang dari sana diharapkan akan
melahirkan generasi-generasi pilihan dan tangguh yang akan melanjutkan
kesinambungan tongkat estafet kehidupan. Akan
semakin kontras pula ketika kita menyimak pesan sabda Nabi saw. yang memerintahkan agar umatnya
menikah dengan tipe-tipe al-walûd (wanita subur) dan al-Wadud (memiliki kasih sayang besar) .
Untuk mengkompromikan realitas yang tampaknya kontras
tersebut, tulisan berikut akan mencoba mendiskusikan seputar idealisme dan
urgensitas sebuah cinta dalam pernikahan, melalui pendekatan semantik dan
tafsir.
HAKIKAT CINTA DAN SYAHWAT UNTUK MEMILIKI
Cinta,
adalah sepatah kata yang konon mengandung sejuta misteri hingga sampai dewasa
ini nyaris tak ditemukan satupun definisi yang benar-benar komprehensif ( jâmi'-mani ' ) terhadap seluruh dimensi
maknanya.Atau kalaupun ada, tak satupun definisi yang benar-benar disepakati
lebih-lebih dalam konteks hubungan asmara lawan jenis. Sebab ia akan lebih bisa dimengerti
menggunakan bahasa rasa dari pada didefinisikan secara verbal menggunakan
kosa-kata dan logika. Kendati
demikian, tidak ada salahnya jika kita manfaatkan khasanah literatur tafsir
untuk menguak hakikat cinta dan keinginan (syahwat) untuk memiliki, sehingga
tidak akan terjadi silang sengkarut dalam menyikapai kedua rasa tersebut serta
bisa menempatkan keduanya sesuai proporsinya masing-masing. Lebih dari itu, tidak akan ada lagi
pemerkosaan besar-besaran terhadap kata cinta dengan mengatasnamakan cinta saat
terjadi fantasi-fantasi X yang sebenarnya tidak patut dikaitkan dengan cinta
karena hanya merupakan luapan egosentris syahwat untuk memiliki saja. Atau paling tidak, akan kita ketahui
seberapa penting urgensitas sebuah cinta dalam pernikahan.
Dalam
Al-Qur'an, Allah swt. telah
berfirman:
زين للناس حب الشهوات من
النساء والبنين والقناطير المقنطرة من الذهب والفضة والخيل المسومة والأنعام
والحرث ذلك متاع الحياة الدنيا والله عنده حسن المآب
|
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diinginkan, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan
di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).(QS. Ali Imran: 14)
|
Redaksi ayat di atas
menegaskan bahwa dalam tiap diri manusia telah ditanam benih-benih cinta yang
sewaktu-waktu bisa tumbuh ketika menemukan kecocokan jiwa. Cinta dalam Islam tidak dilarang, [2] bahkan cinta adalah anugrah yang harus
disyukuri dengan mengekspresikan dan membangunnya sesuai norma-etik syariat
sehingga arah cinta tetap lurus menuju ridla-Nya. Allah berfirman:
قل من حرم زينة الله التي
أخرج لعباده والطيبات من الرزق قل هي للذين ءامنوا في الحياة الدنيا خالصة يوم
القيامة كذلك نفصل الآيات لقوم يعلمون
|
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah
yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah:
"Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan
dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. Al-A'raf : 32)
|
Mencintai lawan jenis secara wajar dan rasional dalam
Islam bukanlah larangan, karena naluri saling mencinta antar laki-laki dan
perempuan telah ditetapkan sebagai sunnatullah. Naluri tersebut ada karena wanita
diciptakan dari bagian organ laki-laki (tulang rusuk), sehingga ia akan
senantiasa merindukan asal kejadiannya itu.Sedangkan laki-laki diciptakan
memiliki syahwat kepada wanita yang dapat membuatnya merasa tentram dan damai. [3] Dalam sebuah hadits Nabi saw. bersabda:
حبب
لي من دنياكم النساء والطيب وجعلت قرةعيني في الصلاة
|
Aku dicintakan di duniamu, yaitu wanita dan wewangian, dan
penentramku dijadikan di dalam shalat.(HR. Ahmad, Annasa'i, Hakim dan Albaihaqi)
|
Menafsiri
lafadz حب الشهوات dalam surat
Ali Imran ayat 14 di atas, ulama teologis ( Mutakallimîn ) mengatakan, antara cinta dan syahwat
itu berbeda. Perbedaan ini
ditengarai melalui kaidah nahwiyah bahwa, jaringan idlâfah menunjukkan perbedaan mudl â f dengan mudlâf
Ilaih ,. Dengan kata lain, mudl â f ( حب) Bukanlah mudlâf Ilaih ( الشهوات) . [4] Perbedaan ini juga ditengarai melalui
konsep teologis bahwa, syahwat adalah hasrat dan kecenderungan naluriah
terhadap suatu obyek yang disenangi ( al-ladzah ) dan keinginan kuat untuk
memperolehnya. Hasrat dan
kecenderungan ini bersifat naluriah yang berada di luar usaha dan kehendak ( iradah ) manusia. Tiap manusia memiliki potensi hasrat
dan kecenderungan ( asy-shahwah ) secara alami pada hal-hal yang
menyenangkan.
Sedangkan
cinta ( محبة) Adalah keinginan ( iradah ) terhadap suatu obyek namun tidak
berhenti pada obyek ansich melainkan pada realitas eksternal dari
obyek tersebut. Seperti orang
cinta pada si A, berarti ia memiliki hasrat yang tidak berhenti pada wujud si A
melainkan menjadikan si A hanya sebagai sarana ( wasilah ) untuk merealisasikan keinginan untuk
memuliakan, melindungi, berkorban atau melakukan tindakan-tindakan positif dan
terbaik kepadanya. Simpelnya,
seseorang yang cinta kepada A, berarti ia senang untuk melakukan hal-hal
positif kepadanya. Dengan kata
lain, cinta adalah hasrat kesenangan pada sikap dan tindakan positif, dan bukan
keinginan pada obyek itu sendiri.
Inilah
yang membedakan antara syahwat dan cinta. Yakni
hasrat ke obyek semata, atau hasrat pada realitas lain dari obyek tersebut. Demikian juga syahwat hanya berkaitan
dengan hal-hal yang menyenangkan saja, seperti kecantikan, kekayaan dan
pesona-pesona keindahan lainnya yang setiap naluri orang menyukainya. Maka kiranya di sini bisa ditegaskan,
bahwa apa yang umumnya dikatakan sebagai jatuh cinta pada pandangan pertama
adalah sebuah kerancauan antara istilah syahwat dan cinta.
Sementara
itu, cinta terkait baik dengan hal-hal yang menyenangkan maupun yang tidak,
seperti pengorbanan. Bagi
pecinta, harapan dan ratapan keduanya akan sama-sama terasa manis. Di sinilah arti cinta itu tidak
bersifat naluriah sebagaimana syahwat, melainkan ia akan muncul melalui
keinginan dan pilihan dari kehendak ( iradah ) seseorang, sebab cinta hakikatnya
adalah keinginan, kemauan atau kebersediaan untuk berkorban tanpa keinginan
mendapat imbalan, keinginan untuk memberi tanpa hasrat diberi, hasrat untuk
melindungi meskipun harus mati, keinginan untuk mengasihi meskipun tidak
dikasihi, bahkan hasrat untuk mengutarakan rasa cinta itu sendiri meski tidak
diterima atau bahkan malah dibenci, dan hasrat untuk tetap mencintai meskipun
tidak harus memiliki.
Sebagai perumpamaan dari cinta ini, mungkin bisa
digambarkan seperti halnya orang menyukai terhadap ular. Dia tidak mengharapkan apa-apa dari
ular tersebut, tetapi ia rela berkorban demi binatang itu meski kadang digigit
atau bahkan harus mati karena terkena bisanya. Di sini bisa juga dikatakan, bahwa dia
cinta pada pengorbanan untuk ular, dan bukan cinta kepada ular. Sedangkan syahwat adalah seperti orang
yang menyukai buah tebu ataupun bunga. Bunga disukai karena keindahannya,
semerbak wangi atau madunya, dan sementara ia layu maka akan dilemparkan. Demikian juga buah tebu disukai karena
manisanya, dan sementara habis manis, sepah pun dibuang. Begitulah syahwat, hanya berhenti pada obyek ansich , tidak demikian halnya dengan cinta.
Dengan
demikian, tampaklah perbedaan apa itu cinta dan apa itu syahwat untuk memiliki. Cinta adalah murni pengorbanan, sedang
syahwat untuk memiliki adalah naluri kesrakahan.
ALASAN CINTA
Alghazali
dalam Ihya 'Ulumiddien mengklasifikasikan motivasi atau alasan rasa cinta ke
dalam empat kategori:
1. Cinta Karena Faktor Internal
Figur
yang menarik, baik secara fisik, kepribadian, perilaku, kecerdasan, atau
lainnya, adalah unsur-unsur internal ( dzati ) seseorang yang dinilai indah,
disenangi, dan dicintai oleh karakter normal. Unsur-unsur
inilah yang pada galibnya menjadi alasan seseorang jatuh cinta. Namun menurut Alghazali, rasa cinta
kadang bukan termotivasi oleh faktor-faktor figuristik internal tersebut,
melainkan karena adanya unsur kecocokan atau kesesuaian ( wajar ) abstrak diantara dua orang. Karenanya, tidak jarang ditemukan dua
orang yang saling mencintai dan mengasihi tanpa lagi peduli pada faktor-faktor
menarik secara figuristik internal. Kecocokan
astrak ini berada di luar jangkauan analisis manusia. Alghazali menyitir sebuah hadits yang
mengisyaratkan adanya ketertarikan karena unsur kecocokan abstrak ini.
الأرواح
جنود مجندة فما تعارف منها ائتلف وما تناكر منها اختلف
|
"Jiwa-jiwa manusia adalah tim-tim yang dilepas. Ketika tim-tim itu bertemu dan
saling mengenal, maka akan terjadi kecenderungan (cinta), dan apabila tidak
saling mengenal, maka akan berpaling ". (HR. Bukhari dan Muslim).
|
Termasuk
dalam kategori cinta ini adalah orang yang mencintai karena kecantikan atau
ketampanan paras.Cinta jenis ini bukan termasuk cinta karena Allah, melainkan
cinta karena dorongan naluri dan hasrat syahwat.Sebab, naluri dan syahwat
memiliki ketertarikan alamiah pada hal-hal indah, baik, dan menyenangkan ( al-ladzah ).Karenanya, cinta jenis ini bisa
dirasakan baik oleh orang beriman maupun tidak. Secara hukum, jenis cinta seperti ini
tidak berdosa, sepanjang tidak menjerumuskan pecinta pada hal-hal terlarang,
seperti melampiaskan hasrat birahi bukan pada tempatnya.
2. Cinta Karena Faktor Eksternal Duniawi
Yaitu
mencintai seseorang demi mendapatkan tujuan dan kepentingannya di balik cinta
yang ia berikan.Dalam kategori ini, orang yang dicintai hanya menjadi alat atau
perantara untuk mencapai tujuan yang sebenarnya, sedangkan yang sesungguhnya
dicintai adalah apa yang menjadi tujuan dan kepentingannya itu.
Cinta
jenis ini bisa diibaratkan seperti orang yang mencintai emas, perak, atau uang. Ia sebenarnya tidak memiliki
kepentingan apapun pada benda-benda itu secara internal ( dzatî ), selain sebatas kepentingan terhadap
faktor eksternal berupa fungsi atau kemanfaatan dari benda-benda itu sebagai
sarana dan alat meraih kenikmatan-kenikmatan yang dicintai, seperti bisa untuk
memperoleh jabatan, popularitas , ilmu, dll.
Bila
motivasi cinta seseorang karena faktor-faktor eksternal duniawi ini (kekayaan,
jabatan, popularitas, ilmu), maka faktor-faktor itulah sebenarnya yang menjadi
kekasihnya. Seorang murid yang
mencintai gurunya karena ilmunya, maka ilmu itulah hakikatnya yang dicintai,
bukan gurunya. Bila mencintai
ilmu karena agar tercapai tujuan-tujuan yang bersifat duniawi (seperti jabatan,
harta, popularitas, dll.), Maka tujuan-tujuan duniawi itulah hakikatnya yang
dicintai, bukan ilmu. Guru dan
ilmu dalam contoh ini dicintai hanya sebagai sarana atau alat untuk memperoleh
kekasih dan cinta yang sesungguhnya, yakni tujuan-tujuan duniawi. Tipe cinta demikian juga bukan cinta
karena Allah. Dan secara hukum,
akan sangat tergantung pada legal-tidaknya tujuan-tujuan duniawi tersebut.
3. Cinta Karena Faktor Eksternal Ukhrawi
Yaitu
mencintai bukan karena figur dan faktor-faktor internal, atau karena faktor
eksternal tapi tidak untuk kepentingan yang bersifat duniawi, melainkan demi
kepentingan ukhrawi. Cinta
demikian termasuk kategori cinta karena Allah. Seperti mencintai guru karena demi
mendapatkan ilmu yang bisa membuahkan amal yang menjadikan beruntung dan
selamat di akhirat, mencintai murid karena bisa menjadi sarana untuk
menyebarkan ilmu, atau seperti mencintai istri salehah demi keterjagaan
agamanya dan memperoleh keturunan shalih yang akan mendoakan, dll. Kendati dalam cinta jenis ini terdapat
faktor-faktor eksternal yang bersifat duniawi, namun cinta itu termasuk
kategori cinta fiLlah. Karena
yang dicintai bisa menjadi wasilah kepada cinta Allah.
Kenikmatan-kenikmatan
( al - ladzât ) yang bersifat duniawi, terkadang
menguntungkan secara kalkulasi ukhrawi, dan terkadang merugikan. Kenikmatan kedua inilah yang
seharusnya dibenci oleh orang yang berakal.Membenci dalam pengertian secara
rasional (' aql ), bukan secara naluri ( thabi'i ). Artinya,
membenci karena menyadari mencintainya akan membawa penderitaan, bukan membenci
suatu kenikmatan, sebab itu mustahil.Seperti benci mencuri makanan lezat milik
orang lain karena sadar akan dihukum, bukan karena makanan lezat akan berubah
menjadi seperti racun ketika dicuri.
Cinta
demikian ini termasuk cinta kepada Allah dengan Persyaratan, ketika
kepentingan-kepentingan ukhrawi yang diperoleh berkurang, maka akan berkurang
pula rasa cintanya, dan akan bertambah apabila bertambah keuntungan ukhrawi
yang didapatkan. Sederhananya,
cinta kepada Allah adalah setiap cinta yang andai saja bukan atas dasar
keimanan kepada Allah, niscaya cinta itu tidak pernah dirasakan.
4. Cinta Lillah dan Fillah
Ini
adalah cinta tingkat tinggi. Mencintai
karena cinta Allah. Artinya,
mencintai apapun bukan karena apapun kecuali karena cinta Allah. Logikanya, cinta yang besar pada
kekasih, akan menjalar pada segala hal yang berkaitan dengan kekasih. Ia akan mencintai orang-orang yang
dicintai kekasih: idolanya, temannya, saudaranya, pembantunya, bahkan
kekasihnya kekasih. Ia akan
mencintai apa saja yang disukai kekasih: hobinya, selera, rumahnya, pakaiannya,
bahkan kekurangan-kekurangan atau sesuatu yang menyakitkan dari kekasih pun
akan dicintai. Seperti kata
pepatah, "gara-gara bunga
mawar, durinya pun turut disiram".
Puncak
dari rasa cinta ini akan sampai pada seperti kondisi para perindu Allah yang
tak dapat lagi membedakan antara kenikmatan dan petaka yang menimpanya, sebab
segalanya datang dari Allah, Sang Kekasih Tercinta. Harapan dan ratapan akan sama-sama
terasa manis. Ia akan mencintai
apa saja yang dicintai dan disenangi kekasih, seperti ia juga akan membenci apa
saja yang dibenci sang kekasih.
Seorang
laki-laki yang jatuh cinta pada wanita, termasuk cinta fiLlah dan liLlah saat semata-mata atas dasar, oleh
karena Allah mencintai wanita itu. [5]
URGENSITAS CINTA DALAM
PERNIKAHAN
Bila
cinta kita deskripsikan seperti ilustrasi di atas, dan coba kita bedakan
pengertiaannya dengan syahwat atau keinginan untuk memiliki, lantas seberapa
penting urgensitas cinta dalam sebuah pernikahan demi memenuhi syahwat
tersebut. Apakah ia harus
terlebih dahulu ada sebelum ikatan pernikahan itu diikrarkan agar romantika
mengarungi bahtera rumah tangga senantiasa dipenuhi siraman cahaya cinta? Atau rasa cinta sebelum ikrar
pernikahan tidaklah penting dan tidak harus ada karena pernikahan diharapkan
dengan berjalannya waktu maka dengan sendirinya akan menumbuhkan perasaan
cinta?
Untuk
menganalisis masalah ini, perlu kita memahami esensi dan misi pernikahan itu
disyariatkan. Yaitu bukan sekedar
untuk singgahan pelampiasan seks semata, melainkan ikatan sakral untuk
meciptakan perdamaian dan melanjutkan episode kehidupan. Dalam hal ini Allah swt. berfirman:
ومن آياته أن خلق لكم من
أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذلك لآيات لقوم
يتفكرون
|
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda bagi kaum yang berpikir. (QS.
Ar-Rum: 21)
|
Mengamati
dengan seksama jaringan kalimat demi kalimat dalam ayat ini, sepertinya sudah
cukup jelas jawaban untuk beberapa tanda tanya di atas. Coba perhatikan saja urutan kata مودة ورحمة yang berarti cinta dan kasih-sayang, di sana tertera di akhir
setelah sebelumnya di awali dengan kata لتسكنواyang berarti sakinah atau ketentraman dan kedamaian, dan
sebelumnya lagi, kata أزواجاyang berarti istri atau pernikahan. Ayat ini mengilustrasikan periodesasi
waktu cinta dan kasih-sayang itu akan muncul setelah adanya kecenderungan dan
ketentraman pasangan dalam suatu pernikahan. Artinya,
secara redaksional ayat ini menegaskan bahwa cinta pra-nikah tidak penting dan
tidak harus ada, karena dengan kuasa Allah, pernikahan secara tidak langsung
akan menumbuhkan rasa cinta dan kasih-sayang. Kendati
demikian, untuk memantabkan jawaban ini ada baiknya kita mencoba menelisik
makna rahasia ayat ini melalui khazanah tafsir.
هو الذي خلقكم من نفس واحدة
وجعل منها زوجها ليسكن إليها
|
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan
istrinya, agar dia (Adam) merasa senang kepadanya. (QS. Al-A'raf: 189)
|
Sedangkan kata مودة ورحمةdalam ayat di atas, interpretasi para mufassirin masih terjadi silang pendapat.Menurut
Ibn Abbas, Mujahid dan Al-Hasan, mawaddah berarti hubungan badan, sedangkan rahmah maksudnya adalah anak yang dilahirkan. Menurut versi lain, mawaddah adalah perasaan cinta di saat usia
pasutri masih muda, sedangkan rahmah adalah rasa kasih-sayang yang dimiliki
pasutri ketika di usia tua. Dan
masih banyak lagi pendapat lain tentang tafsir kata مودة ورحمة dalam surat Arrum ayat 21 di atas.
Kendati banyak kontroversi mengenai tafsir dari kata مودة ورحمةini, namun pada dasarnya mufassirin
sepakat bahwa mawaddah wa
rahmah itu diciptakan Allah. untuk kedua pasangan suami istri
setelah ikatan pernikahan. Mawaddah
wa rahmah akan didapatkan
oleh pasutri setelah mereka diikat dalam pernikahan di mana sebelumnya keduanya
tidak saling kenal satu sama lain dan tidak memiliki rasa apapun diantara
keduanya. Hal ini lumrah, sebab
manusia ketika dipertemukan dengan orang yang tidak ada hubungan mahram, ia
akan merasakan kasih-sayang berbeda dengan kasih-sayang yang ia rasakan dari
mahramnya. Kasih-sayang ini
merupakan anugrah dari Allah yang akan senantiasa ada, dan bukan semata-mata
didasari oleh syahwat, sebab syahwat itu disamping bersifat labil, juga ada
batasnya. Andaikan kasih-sayang
itu hanya didasari syahwat, di mana syahwat sendiri tidak besifat langgeng,
sementara temperatur emosional dan kemarahan seseorang yang bisa menafikan
syahwat mudah naik dan meluap, niscaya setiap saat akan terjadi perceraian di
antara kedua pasangan. Dalam
kondisi demikian, hanya kasih-sayang yang senantiasa ada diantara keduanyalah
yang akan melanggengkan hubungan.
Sampai di sini, kiranya dapat diformulasikan, bahwa rasa cinta pra-nikah tidak
penting atau harus ada sepanjang ikrar pernikahan benar-benar didasari kesiapan
secara mental oleh kedua pasangan dan memiliki komitmen untuk menjalani hidup
berkeluarga serta bercita-cita membangun kehidupan rumah tangga
harmonis.Sejalan dengan waktu, Insya Allah, Allah. akan menumbuhkan rasa sakinah, mawaddah wa rahmah di hati kedua pasangan. Namun demikian, bukan berarti rasa
cinta yang hadir sebelum nikah itu dilarang, dan bahkan hal itu akan lebih
ideal jika tetap dibangun sesuai norma-etik syariat. Sebab, pesan sabda Nabi saw. pun menyuruh umuatnya memilih tipe al-Wadud , yakni seseorang yang memiliki
kasih-sayang besar sebagaimana dalam sebuah hadits:
تزوجوا
الولود الودود فإني مكاثر بكم الأمم يوم القيامة
|
Nikahilah perempuan-perempuan yang subur, yang memiliki kasih sayang
besar, karena sesungguhnya dengan perantara kalian aku memperbanyak umat di
hari kiamat. (HR.
Abu Dawud dan Hakim)
|
Tipe al-Wadud ini sangat penting untuk dipilih
sebagai pasangan, sebab sumber fantasi keindahan yang paling pokok dalam
pernikahan adalah kasih-sayang besar dari kedua belah pasutri. Dengan mendapatkan kriteria itu,
diharapkan akan benar-benar dapat merasakan keindahan perhiasan dunia yang
paling indah, yaitu pasangan salehah. Kalau
tipe ini didapatkan, maka kita akan memahami sabda Nabi saw. yang mengatakan:
الدنيا
متاع وخير متاعها المرأة الصالحة
|
Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhisan adalah wanita
salehah .
|
Dalam
sebuah sabda, Nabi pernah melukiskan kriteria wanita salehah ini. Yaitu wanita yang ketika dipandang
suami sanggup membuatnya merasa damai dan bahagia, yang senantiasa taat ketika
diperintah suami dan bisa menjaga kehormatan ketika ditinggal suami.
المرأة
الصالحة إذا نظر إليها سرته وإذا أمرها أطاعته وإذا غاب عنها حفظته
|
"Wanita salehah adalah ketika dilihat suami maka akan
membahagiakannya, ketika diperintah suami maka akan patuh dan ketika
ditinggal maka ia akan menjaga kehormatan suami." (HR. Ibnu Abbas)
|
Namun
dalam kesempatan lain, Rasulullah saw. telah
menyindir akan kelangkaan wanita yang memiliki kriteria salehah. Nabi mengumpamakan keberadaan wanita
salehah laksana burung gagak putih, yang hampir mustahil ditemukan.
مثل
المرأة الصالحة في النساء كمثل الغراب الأعصم بين مائة غراب
|
"Perumpamaan wanita salehah di antara perempuan adalah seperti
seekor burung gagak putih diantara seratus burung gagak".
|
Karena itulah Nabi sangat
menekankan umatnya untuk memprioritaskan memilih jodoh yang memiliki keagamaan
kuat, karena kriteria inilah yang akan senantiasa pro-aktif dalam melangkah
lurus menuju arah ridla Allah. dan
merajut keindahan dan kebahagiaan sehidup semati bahkan sampai hidup lagi,
seperti dalam sabda beliau:
تنكح
المرأة لأربع لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك
|
"Wanita dinikahi karena empat faktor: materinya, keturunannya,
kecantikannya dan keagamaannya. Carilah wanita yang memiliki keagamaan kuat,
kau akan rugi jika tidak mendapatkannya". (HR. Imam Muslim).
|
Betapapun langkanya wanita salehah itu, penulis selalu berdoa semoga kita kaum Adam masih kebagian tipikal itu. Dan untuk pembaca wanita, semoga Anda sekalian termasuk representasi dari metavoris gagak putih yang langka itu. Amien. KD
--- O0o0o
---
Tulisan ini aku
dedikasikan buat seseorang yang pernah singgah di pelataran hati, yang kupikir
aku benar-benar mencintainya, tapi agaknya aku hanya menyahwatinya. Benci, kemudian cinta, keduanya pernah
ikhlas dipersembahkan, meski akhirnya aku harus melepasnya demi sesuatu yang
seharusnya. Selamat tinggal cinta
...!Selamat datang masa depan ..! ; (-----> ;)
Lirboyo, 01
Mei '09
[1] Sulaiman bin Muhammad Albujairimy, Hasyiyyah Albujairimy ala Alkhathîb , vol. III hlm. 412 Dar Fikr
[2] Dr. Wahbah
Azzuhaily, Attafsîr Almunir fî
Al'aqîdah wa Asy-Syari'ah wa almanhaj ,
vol. III hlm.165 Dar Fikr
[3] Abi Abdillah Alqurthuby, Aljâmi 'Li Ahkam Alqur'an, vol. IV
hlm. 29 Dar Fikr
[4] Alfahr Arrazy, Attafsîr Alkabîr Mafatih Alghaib , vol. IV hlm. 211 Dar Fikr
[5] Alghazali, Ihya 'Ulumiddidn , vol. II hlm 203-209 Darul Hadits Alqahirah.
[6] Alfahr Arrazy, Ibid, vol. XXV hlm. 111 Dar Fikr
* : Beliau saat ini aktif di LBM pon-pes Lirboyo,pengajar MHM lirboyo serta nara sumber dalam acara Kajian Islami Radio Risalah FM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar